Minggu, 27 Oktober 2013

Cerita Kemarin -Warna


Dia bukan sesosok orang yang pandai, juga bukan orang yang ramah, apalagi bisa disebut orang baik. Tidak, tidak sama sekali... semua itu tidak ada pada dirinya, sebut saja namanya Kinan. Gadis kecil dari sebuah desa yang sangat jauh dari pusat keramaian. Semua berawal dari sini, ketika aku bertemu dengannya kemarin, aku seperti mendapat sebuah hal baru dari sosok seorang kinan.

Kinan, murid kelas 3 SMA yang sekolahnya tidak berada di daerah dia berasal. Sejak dia duduk di bangku kelas 9 SMP, dia sangat ingin untuk meneruskan jenjang pendidikannya ke sekolah tersebut. Sebut saja nama sekolahnya SMA Bakti Nusa, yang letaknya harus memaksanya harus pisah dari kedua orang tuanya, dari saudara-saudaranya, dan kerabat dekatnya. Dari sini semua berawal, pada saat masuk di SMA Bakti Nusa, dia merasakan seperti halnya yang dirasakan oleh para siswa baru yang menginjak di bangku SMA. Perasaan senang, gugup, tegang, bahkan sedikit kesedihan sangat ia rasakan. Tapi kini dia telah duduk di kelas 3 SMA, itu tandanya 2 tahun pengalaman pisah dari orang tua sudah ia rasakan. Ya memang letak sekolahnya berada di Jogja, sedangkan rumahnya berada di Semarang. Mungkin ini memang tidak masuk akal, tapi sekolah yang diinginkan Kinan hanya berada di Jogja untuk jarak yang paling dekat. Sehingga dia harus menempati asrama yang disediakan oleh sekolahnya tersebut, asramanya tidak terlalu jauh dengan sekolahnya, bahkan letaknya berada di samping kanan SMA bakti Nusa. Awalnya dia merasa tidak bisa pisah dari kedua orang tuanya, tapi dia yakin... dia pasti bisa, dia harus bisa belajar mandiri. Dia tidak mungkin selamanya akan bergantung kepada kedua orang tuanya, mungkin dengan cara seperti ini dia bisa dilatih menjadi lebih mandiri. Saat waktu pertama masuk sekolah disini, dia sangat rindu kepada orang tuanya. Bahkan sering kali dia menangis, saat mengingat dengan orang tuanya dirumah. Tapi dia tidak mau menuruti keinginan yang dia rasakan, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia pasti bisa. Disekolahnya Kinan memang tidak sepandai teman-temannya, juga tidak terlalu dikenal, dia sosok orang yang pendiam, dan berusaha untuk senantiasa rendah hati. Dia tidak ingin dipuji, tapi banyak teman-teman yang akrab dengannya, karena dia sosok orang yang ramah, mudah bergaul kepada siapapun, dan tidak membeda-bedakan teman. Teman-temannya juga sering bercanda gurau dengannya, seperti halnya siswa biasa. Tidak ada yang tahu bagaimana karakter Kinan sebenarnya, yang tau hanya teman sebangkunya saat dia duduk dikelas 1 dulu, teman yang selalu akrab dengannya. Sebut saja namanya Reva, siswa yang berasal dari Solo. Banyak teman Kinan yang beranggapan, bahwa Kinan adalah sosok orang yang cuek. Memang kelihatannya dia sangat cuek kepada orang yang belum terlalu ia kenal, tapi sekali ia mengenal teman baru dia pasti bisa bergabung dengannya, mengerti akan maksudnya dan semua yang ada pada diri teman barunya tersebut. Tapi sebenarnya Kinan merupakan orang yang lemah, orang yang gampang nangis, dan orang yang tidak mau pisah dari orang-orang yang disanyanginya, terutama kedua orang tuanya.

Saat pertama kegiatan belajar mengajar berlangsung, Kinan tiba-tiba menangis dan Reva mengetahuinya.
“kamu kenapa menangis ?” tanya Reva.
“tidak apa...” sambil tersenyum, jawab dari Kinan.
Awalnya dia tidak berusaha jujur kepada Reva, dan hal itu membuat Reva bertanya-tanya tentang alasan mengapa Kinan menangis tiba-tiba dikelas.
“Aku teringat kedua orang tuaku..” tiba-tiba Kinan berkata seperti itu.
Serentak Reva pun langsung menatap matanya.
 “teringat ? dalam artian ?”tanya Reva.
“aku tudak bisa pisah dari mereka..” sahut Kinan sambil meneteskan air matanya kembali.
“kamu pasti bisa, memang begini rasanya awal masuk sekolah tanpa orang tua... apalagi kita berpisah jauh darinya, memang seperti ini latihan awal untuk kita bisa mandiri, karena kita nggak selamanya harus bersama orang tua kita kan ?” jawab Reva.
“iya memang, kamu benar. Tapi aku bukan tipe orang seperti itu, aku tidak bisa pisah jauh dari orang tua aku.”
“kamu pasti bisa Kinan... selama kamu yakin kamu bisa, pasti itu akan terjadi”
Tiba-tiba Kinan langsung terdiam mendengar kata-kata dari Reva, karena kata-kata yang baru diucapkan barusan sangat mirip maknanya dengan pesan dari ayahnya...
“Jika kita niat, kita pasti bisa. Karena apa yang kita yakini, itu lah yang terjadi.” Pesannya.
“Nan ? Kinan ? kamu tidak apa ?” tanya Reva sedikit khawatir.
“emm... tidak apa, sepertinya liburan minggu ini aku harus pulang” tiba-tiba Kinan berkata begitu.
Dan akhirnya dia pulang mengunjungi keluarganya di Semarang, kesan pertama dia pulang terlihat sangat biasa. Dia juga biasa saja bertemu dengan keluarganya, tapi saat dia kembali lagi di Jogja. Perasaan itu kambuh lagi, dari sini dia mencoba untuk menyimpulkan bahwa sesungguhnya perasaan itu hanya datang ketika kita habis mengunjungi rumah. Akhirnya untuk hari-hari selanjutnya dia mencoba untuk mencari aktivitas lain untuk menghilangkan rasa itu, mungkin tugas atau hal positif lain solusinya. Hingga akhirnya dia berhasil, dan kali ini dia hanya pulang saat ada acara saja dirumah. Karena dia sudah mulai menikmati keadaan barunya di Jogja, bisa dikatakan dia sudah sukses beradaptasi.

Dan kali ini waktu sangat cepat, hingga membawanya naik ke tingkatan kelas 3 SMA sekarang. Selama tahun ajaran baru dikelas tiganya sekarang, dia belum pernah mengunjungi keluarganya di Semarang. Bisa dibilang dia sibuk sibuk dengan aktivitasnya disekolah. Akan tetapi komunikasi dengan keluarganya tetap terjaga, setiap weekend ibunya selalu menghubunginya. Kinan merupakan gadis yang berasal dari keluarga yang sederhana, yang dibiasakan rendah hati oleh ayah dan ibunya. Orang tuanya sangat disegani oleh masyarakat yang berada di desanya, bukan dari pangkat atau jabatan, melainkan dari turtur kata dan perbuatannya. Begitu juga Kinan, dia sangat dikenal santun oleh masyarakat di desanya, mereka beranggapan bahwa “buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”

Dan akhirnya pada saat hari raya Idul Fitri Kinan baru menyempatkan untuk pulang, sebenarnya dia ingin pulang pada saat Puasa Ramadhan. Dia sangat ingin merasakan melaksanakan bulan Ramadhan itu bersama orang tuanya, tapi hari libur hanya berlangsung saat akhir bulan ramadhan dan 7 haru di bulan Syawal. Saat pulang kali ini, orang tuanya mengatakan bahwa Kinan sekarang berbeda dengan Kinan yang dulu. Bisa dilihat dari kebiasaan Kinan saat pulang dulu, dia mesti minta dijemput dan diantarkan kembali ke asramanya. Tapi kini dia sudah mengendarai angkutan umum, tanpa harus merepotkan ayahnya untuk mengantarkan dia pulang. Selain itu dengan tutur katanya sekarang, yang dulunya Kinan sering berbicara keras, dia menjadi santun dan lemah lembut. Selain itu juga banyak lagi kebiasaan-kebiasaan Kinan yan berubah dari sebelumnya, dalam artian berubah menjadi lebih baik. Saat malam takbir berlangsung, Kinan tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Yang semula di baru beristirahat pada pukul 23.30 WIB, dia terbangun pada pukul 02.00 WIB, gema takbir senantiasa berkumandang mengiringi indahnya malam takbir itu. Saat itu dia hanya dirumah bersama ibunya, dimana ibunya juga sudah terlelap tidur bersamanya dikala itu. Dengan sengaja Kinan pun masuk ke kamar ibunya, dan melihat ibunya sedang terlelap tidur. Dia melihat jari kakinya tidak terselimuti, Kinan pun menarik selimut untuk bisa menutupi jari kaki ibunya tersebut agar ibunya tidak merasakan kedinginan. Sebelum ia menyelimuti ibunya, dia memegan jari kaki ibunya, menatap wajahnya, dan sambil dia berkata : “Kinan sayang ibu”, ujarnya.

Lalu dia mencium kaki ibunya, dan tiba-tiba ia berlari ke ruang keluarga. Disitu ia menangis, bahwa sesungguhnya dia sangat rindu kepada ibunya, tapi dia sudah berusaha untuk mencari aktivitas yang bermanfaat, untuk menghilangkan rasa itu. Seketika Kinan pun mendengar suara takbir dari ayahnya, lalu disahut dengan adiknya. Gema takbir itu sangat keras dan indah terdengar dikala itu, karena ayah dan adiknya berada di masjid samping rumahnya. Dia tak beranggapan lain, dan serentak air matanya langsung jatuh. Di angannya hanya teringat sosok Ayah, Ibu, dan Adiknya. Dia sangat menyayangi mereka, lalu seketika Kinan teringat sosok Ayahnya. Dimana beliau yang selalu menasehati Kinan, memotivasi Kinan, mengantarnya ketika ia pulang, dan menjemputnya ketika Kinan ingin mengunjungi rumah, seorang ayah yang mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya, terutama untuk Kinan, putri yang sangat disanyangi beliau, Kinan menyadari bahwa sebenarnya dia memang diutamakan telebih dahulu ketimbang  adiknya. Lalu dengan ibunya, beliau sangat perhatian kepada Kinan, bahkan saat Kinan sering cerita tentang teman-teman Kinan, beliau sering memberikan masukan kepada Kinan, saat Kinan pulang  beliau sering menanyai “masakan apa yang Kinan inginkan” “Kinan mau dibawakan apa di asrama” dan masih banyak lagi. Jika sesekali dia mulai rindu kepada orang tuanya, dia tidak mungkin bilang “Ayah, Ibu, Kinan kangen...”
Itu bukan Kinan, karena dia tau. Jika dia mengatakan hal itu kepada orang tua nya, pasti Ayah dan Ibunya juga akan kepikiran kepada Kinan. Biasanya dia selalu mengungkapkan perasaannya dengan sebuah tulisan, karena dia sangat menyukai tulisan. Seperti katanya “write, writing, writer..”


Kinan sadar, dia bukan seorang apa-apa jika tanpa Ayah dan Ibunya, dari beliau dia memperoleh pengalaman-pengalaman berharga yang tidak tergantikan dari apapun. Tanpa mereka mungkin hidup Kinan tidak ada coretan warnanya, mungkin hanya sebuah lembaran pitih yang hanya bisa di coret-coret dengan tinta hitam. Tapi berkat beliau hidup Kinan sangat bermakna, dan itu yang menjadikan apa-apa dalam hidup Kinan. Yang selalu berwarna, indah, seperti pelangi. Tapi kali ini yang dirasakan bukan hanya 7 buah warna seperti pelangi, tapi merupakan berjuta coretan warna yang ia dapatkan dari keluarganya. Dan dari coretan coretan berwarna itu, yang menjadikan hidupnya sangat bermakna...






0 komentar:

© Schreiben | Powered by Blogger