Dia bukan
sesosok orang yang pandai, juga bukan orang yang ramah, apalagi bisa disebut
orang baik. Tidak, tidak sama sekali... semua itu tidak ada pada dirinya, sebut
saja namanya Kinan. Gadis kecil dari sebuah desa yang sangat jauh dari pusat keramaian.
Semua berawal dari sini, ketika aku bertemu dengannya kemarin, aku seperti
mendapat sebuah hal baru dari sosok seorang kinan.
Kinan, murid
kelas 3 SMA yang sekolahnya tidak berada di daerah dia berasal. Sejak dia duduk
di bangku kelas 9 SMP, dia sangat ingin untuk meneruskan jenjang pendidikannya
ke sekolah tersebut. Sebut saja nama sekolahnya SMA Bakti Nusa, yang letaknya
harus memaksanya harus pisah dari kedua orang tuanya, dari saudara-saudaranya,
dan kerabat dekatnya. Dari sini semua berawal, pada saat masuk di SMA Bakti
Nusa, dia merasakan seperti halnya yang dirasakan oleh para siswa baru yang
menginjak di bangku SMA. Perasaan senang, gugup, tegang, bahkan sedikit
kesedihan sangat ia rasakan. Tapi kini dia telah duduk di kelas 3 SMA, itu tandanya
2 tahun pengalaman pisah dari orang tua sudah ia rasakan. Ya memang letak
sekolahnya berada di Jogja, sedangkan rumahnya berada di Semarang. Mungkin ini
memang tidak masuk akal, tapi sekolah yang diinginkan Kinan hanya berada di
Jogja untuk jarak yang paling dekat. Sehingga dia harus menempati asrama yang
disediakan oleh sekolahnya tersebut, asramanya tidak terlalu jauh dengan
sekolahnya, bahkan letaknya berada di samping kanan SMA bakti Nusa. Awalnya dia
merasa tidak bisa pisah dari kedua orang tuanya, tapi dia yakin... dia pasti
bisa, dia harus bisa belajar mandiri. Dia tidak mungkin selamanya akan
bergantung kepada kedua orang tuanya, mungkin dengan cara seperti ini dia bisa
dilatih menjadi lebih mandiri. Saat waktu pertama masuk sekolah disini, dia
sangat rindu kepada orang tuanya. Bahkan sering kali dia menangis, saat
mengingat dengan orang tuanya dirumah. Tapi dia tidak mau menuruti keinginan
yang dia rasakan, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia
pasti bisa. Disekolahnya Kinan memang tidak sepandai teman-temannya, juga tidak
terlalu dikenal, dia sosok orang yang pendiam, dan berusaha untuk senantiasa
rendah hati. Dia tidak ingin dipuji, tapi banyak teman-teman yang akrab
dengannya, karena dia sosok orang yang ramah, mudah bergaul kepada siapapun,
dan tidak membeda-bedakan teman. Teman-temannya juga sering bercanda gurau
dengannya, seperti halnya siswa biasa. Tidak ada yang tahu bagaimana karakter
Kinan sebenarnya, yang tau hanya teman sebangkunya saat dia duduk dikelas 1
dulu, teman yang selalu akrab dengannya. Sebut saja namanya Reva, siswa yang
berasal dari Solo. Banyak teman Kinan yang beranggapan, bahwa Kinan adalah
sosok orang yang cuek. Memang kelihatannya dia sangat cuek kepada orang yang
belum terlalu ia kenal, tapi sekali ia mengenal teman baru dia pasti bisa
bergabung dengannya, mengerti akan maksudnya dan semua yang ada pada diri teman
barunya tersebut. Tapi sebenarnya Kinan merupakan orang yang lemah, orang yang
gampang nangis, dan orang yang tidak mau pisah dari orang-orang yang
disanyanginya, terutama kedua orang tuanya.
Saat pertama
kegiatan belajar mengajar berlangsung, Kinan tiba-tiba menangis dan Reva
mengetahuinya.
“kamu kenapa
menangis ?” tanya Reva.
“tidak
apa...” sambil tersenyum, jawab dari Kinan.
Awalnya dia tidak
berusaha jujur kepada Reva, dan hal itu membuat Reva bertanya-tanya tentang
alasan mengapa Kinan menangis tiba-tiba dikelas.
“Aku
teringat kedua orang tuaku..” tiba-tiba Kinan berkata seperti itu.
Serentak
Reva pun langsung menatap matanya.
“teringat ? dalam artian ?”tanya Reva.
“aku tudak
bisa pisah dari mereka..” sahut Kinan sambil meneteskan air matanya kembali.
“kamu pasti
bisa, memang begini rasanya awal masuk sekolah tanpa orang tua... apalagi kita
berpisah jauh darinya, memang seperti ini latihan awal untuk kita bisa mandiri,
karena kita nggak selamanya harus bersama orang tua kita kan ?” jawab Reva.
“iya memang,
kamu benar. Tapi aku bukan tipe orang seperti itu, aku tidak bisa pisah jauh
dari orang tua aku.”
“kamu pasti
bisa Kinan... selama kamu yakin kamu bisa, pasti itu akan terjadi”
Tiba-tiba
Kinan langsung terdiam mendengar kata-kata dari Reva, karena kata-kata yang
baru diucapkan barusan sangat mirip maknanya dengan pesan dari ayahnya...
“Jika kita
niat, kita pasti bisa. Karena apa yang kita yakini, itu lah yang terjadi.”
Pesannya.
“Nan ? Kinan
? kamu tidak apa ?” tanya Reva sedikit khawatir.
“emm...
tidak apa, sepertinya liburan minggu ini aku harus pulang” tiba-tiba Kinan
berkata begitu.
Dan akhirnya
dia pulang mengunjungi keluarganya di Semarang, kesan pertama dia pulang
terlihat sangat biasa. Dia juga biasa saja bertemu dengan keluarganya, tapi
saat dia kembali lagi di Jogja. Perasaan itu kambuh lagi, dari sini dia mencoba
untuk menyimpulkan bahwa sesungguhnya perasaan itu hanya datang ketika kita
habis mengunjungi rumah. Akhirnya untuk hari-hari selanjutnya dia mencoba untuk
mencari aktivitas lain untuk menghilangkan rasa itu, mungkin tugas atau hal
positif lain solusinya. Hingga akhirnya dia berhasil, dan kali ini dia hanya
pulang saat ada acara saja dirumah. Karena dia sudah mulai menikmati keadaan
barunya di Jogja, bisa dikatakan dia sudah sukses beradaptasi.
Dan kali ini
waktu sangat cepat, hingga membawanya naik ke tingkatan kelas 3 SMA sekarang.
Selama tahun ajaran baru dikelas tiganya sekarang, dia belum pernah mengunjungi
keluarganya di Semarang. Bisa dibilang dia sibuk sibuk dengan aktivitasnya
disekolah. Akan tetapi komunikasi dengan keluarganya tetap terjaga, setiap
weekend ibunya selalu menghubunginya. Kinan merupakan gadis yang berasal dari
keluarga yang sederhana, yang dibiasakan rendah hati oleh ayah dan ibunya.
Orang tuanya sangat disegani oleh masyarakat yang berada di desanya, bukan dari
pangkat atau jabatan, melainkan dari turtur kata dan perbuatannya. Begitu juga
Kinan, dia sangat dikenal santun oleh masyarakat di desanya, mereka beranggapan
bahwa “buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”
Dan akhirnya
pada saat hari raya Idul Fitri Kinan baru menyempatkan untuk pulang, sebenarnya
dia ingin pulang pada saat Puasa Ramadhan. Dia sangat ingin merasakan
melaksanakan bulan Ramadhan itu bersama orang tuanya, tapi hari libur hanya
berlangsung saat akhir bulan ramadhan dan 7 haru di bulan Syawal. Saat pulang
kali ini, orang tuanya mengatakan bahwa Kinan sekarang berbeda dengan Kinan
yang dulu. Bisa dilihat dari kebiasaan Kinan saat pulang dulu, dia mesti minta
dijemput dan diantarkan kembali ke asramanya. Tapi kini dia sudah mengendarai
angkutan umum, tanpa harus merepotkan ayahnya untuk mengantarkan dia pulang.
Selain itu dengan tutur katanya sekarang, yang dulunya Kinan sering berbicara
keras, dia menjadi santun dan lemah lembut. Selain itu juga banyak lagi
kebiasaan-kebiasaan Kinan yan berubah dari sebelumnya, dalam artian berubah
menjadi lebih baik. Saat malam takbir berlangsung, Kinan tiba-tiba terbangun
dari tidurnya. Yang semula di baru beristirahat pada pukul 23.30 WIB, dia
terbangun pada pukul 02.00 WIB, gema takbir senantiasa berkumandang mengiringi
indahnya malam takbir itu. Saat itu dia hanya dirumah bersama ibunya, dimana
ibunya juga sudah terlelap tidur bersamanya dikala itu. Dengan sengaja Kinan
pun masuk ke kamar ibunya, dan melihat ibunya sedang terlelap tidur. Dia
melihat jari kakinya tidak terselimuti, Kinan pun menarik selimut untuk bisa
menutupi jari kaki ibunya tersebut agar ibunya tidak merasakan kedinginan.
Sebelum ia menyelimuti ibunya, dia memegan jari kaki ibunya, menatap wajahnya,
dan sambil dia berkata : “Kinan sayang ibu”, ujarnya.
Lalu dia
mencium kaki ibunya, dan tiba-tiba ia berlari ke ruang keluarga. Disitu ia
menangis, bahwa sesungguhnya dia sangat rindu kepada ibunya, tapi dia sudah
berusaha untuk mencari aktivitas yang bermanfaat, untuk menghilangkan rasa itu.
Seketika Kinan pun mendengar suara takbir dari ayahnya, lalu disahut dengan
adiknya. Gema takbir itu sangat keras dan indah terdengar dikala itu, karena
ayah dan adiknya berada di masjid samping rumahnya. Dia tak beranggapan lain,
dan serentak air matanya langsung jatuh. Di angannya hanya teringat sosok Ayah,
Ibu, dan Adiknya. Dia sangat menyayangi mereka, lalu seketika Kinan teringat
sosok Ayahnya. Dimana beliau yang selalu menasehati Kinan, memotivasi Kinan,
mengantarnya ketika ia pulang, dan menjemputnya ketika Kinan ingin mengunjungi
rumah, seorang ayah yang mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya, terutama
untuk Kinan, putri yang sangat disanyangi beliau, Kinan menyadari bahwa
sebenarnya dia memang diutamakan telebih dahulu ketimbang adiknya. Lalu dengan ibunya, beliau sangat
perhatian kepada Kinan, bahkan saat Kinan sering cerita tentang teman-teman
Kinan, beliau sering memberikan masukan kepada Kinan, saat Kinan pulang beliau sering menanyai “masakan apa yang
Kinan inginkan” “Kinan mau dibawakan apa di asrama” dan masih banyak lagi. Jika
sesekali dia mulai rindu kepada orang tuanya, dia tidak mungkin bilang “Ayah,
Ibu, Kinan kangen...”
Itu bukan
Kinan, karena dia tau. Jika dia mengatakan hal itu kepada orang tua nya, pasti
Ayah dan Ibunya juga akan kepikiran kepada Kinan. Biasanya dia selalu
mengungkapkan perasaannya dengan sebuah tulisan, karena dia sangat menyukai
tulisan. Seperti katanya “write, writing, writer..”
Kinan sadar,
dia bukan seorang apa-apa jika tanpa Ayah dan Ibunya, dari beliau dia
memperoleh pengalaman-pengalaman berharga yang tidak tergantikan dari apapun.
Tanpa mereka mungkin hidup Kinan tidak ada coretan warnanya, mungkin hanya
sebuah lembaran pitih yang hanya bisa di coret-coret dengan tinta hitam. Tapi
berkat beliau hidup Kinan sangat bermakna, dan itu yang menjadikan apa-apa
dalam hidup Kinan. Yang selalu berwarna, indah, seperti pelangi. Tapi kali ini
yang dirasakan bukan hanya 7 buah warna seperti pelangi, tapi merupakan berjuta
coretan warna yang ia dapatkan dari keluarganya. Dan dari coretan coretan
berwarna itu, yang menjadikan hidupnya sangat bermakna...
0 komentar:
Posting Komentar