“Elza, Ayah pergi kerja dulu Nak.. kamu cepat berangkat
sekolah, nanti telat !!” tutur Ayah dengan lembut padaku.
“Iyya iya Yah, Elza juga bisa lihat jam kali Yah... kalo’
mau pergi ya pergi aja, itu kan kewajiban Ayah buat kerja cari nafkah untuk keluarga,”.
Jawabku pada Ayah.
“Assalamu’alaikum ..”
“Wa’alaikum salam...”
Memang aku dari keluarga yang tidak mampu, sejak Ayah
kena PHK. namun aku selalu bergaya hidup seperti teman-teman di sekolahku yang
kebanyakan adalah anak pengusaha-pengusaha kaya, karena hanya dengan cara
inilah aku bisa mendapatkan teman.
Aku sekolah di salah satu SMA Negeri di Bandung, tepatnya
di sekolah anak-anak bergengsi. Dan aku memilih sekolah disini karena taruhan
dengan temen SMP ku dulu. Dan mau tidak mau, Ayah harus mengurus sekolahku
karena aku udah terlanjur masuk disini dan aku sekarang menginjak bangku kelas
11 SMA .
***
“Teng.. Tengg...Tteenngg...”
Bel masuk pelajaran pertama telah berbunyi, terdengar
lantang saat aku berjalan menuju gerbang sekolah. Aku berlari supaya aku tidak
telat lagi mengikuti jam pelajaran Biologi yang jadwalnya hari ini adalah
praktikum.
Tapi ternyata, aku telaaat... aku bener-bener sebel sama
satpam di sekolah ini. Udah item, gendut, berkumis, kejam lagi. Gak pernah
kasih toleransi sedikitpun sama siswa-siswi yang telat, walaupun hanya setengah
detik. Huuuft... dan akhirnya aku kena hukuman lagi untuk hari ini, lari
keliling lapangan futsal, sit up, push up.
Setelah selesai, aku langsung ke kelas dan mengikuti
pelajaran dengan nafasku yang gak teratur.
“Elza, telat lagi kamu hari ini?, kenapa gak di anter
sama supir aja El?, gak punya supir ya?, ya bawa mobil sendiri aja, atau gak
bisa nyetir sendiri ?” tanya Ivon dengan cerewetnya.
“Ivon, Elza itu bukannya gak punya supir, mungkin dia gak
punya mobil juga .. hahaha” cetus Misya dengan gelak tawanya yang di sambut
meriah oleh seisi kelas.
“Sudah... sudah,, kita lanjutkan praktikumnya.. Elza
siapkan katak untuk praktikum kamu, cepat !” perintah Bu Vicke.
Dalam hatiku, aku masih tidak terima dengan olok-olokan
dari Ivon dan Misya tadi, dan mempermalukan aku di depan teman-teman sekelasku.
Aku akan bikin pehitungan sama mereka setelah bel istirahat.
Siipt... bel istirahat udah berbunyi. Aku langsung
menghampiri Ivon dan Misya. Tanpa basa-basi. Langsung saja ku tampar satu per
satu muka mereka berdua.
Plaakk...
“Kurang ajar banget sih kamu El, gak pernah di ajari
sopan santun apa sama orang tua kamu?” terocos Misya.
“hhmmb... gimana ya... kamu yang kurang ajar, kamu udah
mempermalukan aku tadi di depan temen-temen sekelas. Udah puas kamu? Haaa?”
“Kami gak ada niat buat mempermalukan kamu, kami cuma
berkata jujur apa adanya kok. Ya gak salah lah. Kamu aja yang sensi banget, gak
ada untungnya buat kami kalo’ cuma mempermalukan kamu aja. Mengeluarkan kamu
dari sekolah ini aja, sangat gampang buat kami.”
“Owh ya... aku takut banget nih.. hiiiii... takuuut,..
tapi sayangnya ancaman kamu itu udah basi tau gak..”
“Aku gak pernah segan-segan sama omongan aku sendiri.
Kamu kira aku gak tau latar belakang keluarga kamu. Latar belakang keluarga
yang sangat suram. yang kamu bilang kalo’ Ayah kamu pengusaha di luat kota,
Bunda kamu diplomat di luar negeri. Tapi mana buktinya, malah yang aku tau,
Ayah kamu itu hanya seorang pemulung botol bekas dan Bunda kamu itu udah lama
meninggal, sejak kamu lahir. Iya kaaan?”
“Haaaa...?” aku hanya bengong mendengar kata-kata Ivon
yang semuanya adalah benar adanya.
“Elzaaa... heeiii,, gak usah bengong kalee!!... aku sama
Ivon udah tau semmuua tentang kamu. Jadi, gak usah macem-macem sama kami, okey
?... kasihan tuh Ayah kamu, ngurusin kamu dengan susah payah, eehh ternyata
kamunya kalo’ di sekolah cuma cari gara-gara terus, nggak sekolah bener-bener.”
Tutur Misya.
“Aku capek ngurusin omongan kalian.. kurang kerjaan aja
aku ngurusin kalian.” Aku meninggalkan mereka, namun dengan ekspresi yang
kurang jelas di wajah aku, antara malu dan kesal. Dan semua ini salah siapa?
***
Terdengar suara botol-botol bekas Ayah yang menandakan
Ayah sudah pulang malam ini. Dengan batuk khas nya, Ayah masuk rumah dengan
pelan-pelan.
“Assalamu’alaikum.. “ ucap Ayah lirih, dan nyaris tak
terdengar.
“Wa’alaikum salam... Yah, Elza mau ngomong sama Ayah.”
Jawabku dengan kesal.
“Iya Nak, ngomong apa?, ada edaran dari sekolah?”
“Enggak.”
“Terus apa?, mau beli kosmetik baru?”
“Enggak Yah, Elza capek hidup kayak gini terus, Elza gak
pernah punya temen selama hidup Elza kayak gini terus Yah. Kapan sih kita bisa
kaya lagi kayak teman-teman Elza itu. Elza malu punya Ayah pemulung kayak Ayah
sekarang. Kenapa sih Ayah harus kena PHK?, kenapa juga Elza gak punya Bunda.
Aku merasa hanya sebatang kara yang terbuang di tengah lautan kehidupa yang
sangat kejam Yah. Elza udah bosen sama hidup Elza sekarang.”
“Nak, semua ini salah Ayah... jangan salahkan takdir Nak.
Dosa!!.. dan kepergian Bunda, mungkin itu jalan terbaik untuk keluarga kita.
Jangan pernah bosan sama Ayah Nak, Ayah janji akan memberikan apapun yang kamu
butuhkan, karena hanya kamu satu-satunya harta Ayah yang paling berharga yang
Ayah miliki. Ayah sangat sayang sama kamu Elza.”
“Elza udah putuskan Yah, Elza mau pergi aja dari sini.
Elza udah sangat malu sama temen-temen Elza di sekolah dan juga malu sama
tetangga-tetangga. Elza udah pikirin matang-matang, aku mau pergi jauh dari
Ayah, dan aku gak pengen kenal sama Ayah lagi. Jangan pernah cari Elza Yah,
kalo’ emang Ayah sayang sama Elza. Dan cukup sudah Ayah buat Elza malu dan
menderita kayak gini. Jangan pernah peduliin Elza lagi.” Aku meninggalkan Ayah
yang sedang meneteskan air mata dan pergi ke kamar membereskan barang-barang
aku.
***
“Elza, jangan pergi Nak, Ayah gak pengen kehilangan kamu
Nak. Biarkan Ayah yang pergi.” Tangis Ayah pecah saat aku keluar meniti jalan
di depan rumah.
“Enggak perlu, suatu saat Elza juga akan kembali lagi.
Kalo’ Elza inget sama Ayah dan Ayah juga masih ada di dunia ini.” Aku pergi
tanpa banyak bicara lagi, meninggalkan Ayah yang masih terdiam lemas di samping
pagar kayu yang hampir lapuk termakan usia. Sebenarnya aku masih sayang sama
Ayah, tapi Ayah udah kejam banget sama aku, dengan menjadikan hidup aku menjadi
seperti ini. Dan menurutku, ini adalah jalan terbaik, pisah sama Ayah
secepatnya, sebelum hidupku hancur kayak Ayah sekarang ini.
***
“Kamu udah sadar saudari Elza ?” tanya seorang suster
kepadaku.
“Aku dimana?” tanyaku heran.
“2 hari yang lalu mbak kecelakaan di depan bank BRI sana,
mbak tertabrak mobil traveling saat mbak lari tak tentu arah. mbak kritis
selama 2 hari karena luka di dalam bola mata mbak yang sebelah kiri akibat
terkena banyak pecahan kaca. Dan mungkin jika Ayah mbak tidak memberikan
matanya kepada mbak, mbak nggak akan bisa melihat lagi sekarang. Ayah mbak
memang sangat baiiiik sekali, mbak beruntung punya Ayah seperti beliau.” Jelas
suster tersebut padaku.
“Suster, bukannya hanya orang yang sudah meninggal saja
yang bisa mendonorkan alat inderanya?” tanyaku lemah.
“Iya mbak, Ayah mbak sudah meninggal 2 hari yang lalu.
Saya dengar, beliau meninggal dengan menabrakkan diri di tengan jalanan yang
padat pengguna jalan. Beliau rela meninggal hanya untuk mendonorkan matanya
untuk mbak. Dan beliau menitipkan surat untuk mbak. Ini...” suster memberikan
surat itu padaku, aku merasa tak kuat menerima selembar kertas tersebut.
Walaupun tak kuat, aku harus bisa membacanya.
“Suster, apa benar ini Sus?, dimana
Ayah sekarang?” tanyaku sambil menangis tak tertahan lagi.
“Iya mbak, Ayah mbak sudah tiada. Beliau juga berpesan
pada pihak medis, agar merawat mbak hingga sembuh. Karena Ayah mbak telah
melunasi semua administrasi di Rumah Sakit ini dengan menjual semua organ di
tubuh beliau ke Rumah Sakit. Baru kali ini saya melihat kasih sayang seorang
Ayah yang sangat tulus pada putrinya.”
“Apaa?, menjual semua organ tubuhnya?”
“Iya mbak... sudah mbak, jangan banyak fikiran dulu, yang
penting mbak sembuh dulu, supaya mbak bisa melihat makam Ayah mbak di TPU
belakang Rumah Sakit ini.” Suster membiarkan aku sendirian di kamar tempat aku
di rawat.
Aku gak percaya, Ayah pergi meninggalkan aku dengan cara
seperti ini. Betapa berdosanya aku telah menyia-nyiakan Ayah selama ini. Ayah
gak pernah sedikitpun marah sama aku apalagi membiarkan aku sengsara sendiri.
Ayah selalu memberikan semua yang dia miliki padaku. Tapi apa balasanku pada
Ayah, aku selalu bentak-bentak Ayah, aku selalu bicara kasar pada Ayah, dan aku
selalu menyalahkan Ayah tentang apapun yang terjadi pada hidupku. Semua
salahku. Namun kini aku gak bisa berbuat apapun, Ayah sudah terlanjur pergi,
dan itu semua gara-gara aku yang pernah bilang kalo’ aku gak pengen lagi kenal
Ayah. Maafin Elza Yah, Elza sayang sama Ayah, sampai jumpai suatu saat di rumah
Allah Yah. Elza bangga punya Ayah, walaupun sesaat. L L
By
: UER
0 komentar:
Posting Komentar