Sabtu, 11 Mei 2013

Affection From Ayah

“Elza, Ayah pergi kerja dulu Nak.. kamu cepat berangkat sekolah, nanti telat !!” tutur Ayah dengan lembut padaku.
“Iyya iya Yah, Elza juga bisa lihat jam kali Yah... kalo’ mau pergi ya pergi aja, itu kan kewajiban Ayah buat kerja cari nafkah untuk keluarga,”. Jawabku pada Ayah.
“Assalamu’alaikum ..”
“Wa’alaikum salam...”
Memang aku dari keluarga yang tidak mampu, sejak Ayah kena PHK. namun aku selalu bergaya hidup seperti teman-teman di sekolahku yang kebanyakan adalah anak pengusaha-pengusaha kaya, karena hanya dengan cara inilah aku bisa mendapatkan teman.
Aku sekolah di salah satu SMA Negeri di Bandung, tepatnya di sekolah anak-anak bergengsi. Dan aku memilih sekolah disini karena taruhan dengan temen SMP ku dulu. Dan mau tidak mau, Ayah harus mengurus sekolahku karena aku udah terlanjur masuk disini dan aku sekarang menginjak bangku kelas 11 SMA .
***
“Teng.. Tengg...Tteenngg...”
Bel masuk pelajaran pertama telah berbunyi, terdengar lantang saat aku berjalan menuju gerbang sekolah. Aku berlari supaya aku tidak telat lagi mengikuti jam pelajaran Biologi yang jadwalnya hari ini adalah praktikum.
Tapi ternyata, aku telaaat... aku bener-bener sebel sama satpam di sekolah ini. Udah item, gendut, berkumis, kejam lagi. Gak pernah kasih toleransi sedikitpun sama siswa-siswi yang telat, walaupun hanya setengah detik. Huuuft... dan akhirnya aku kena hukuman lagi untuk hari ini, lari keliling lapangan futsal, sit up, push up.
Setelah selesai, aku langsung ke kelas dan mengikuti pelajaran dengan nafasku yang gak teratur.
“Elza, telat lagi kamu hari ini?, kenapa gak di anter sama supir aja El?, gak punya supir ya?, ya bawa mobil sendiri aja, atau gak bisa nyetir sendiri ?” tanya Ivon dengan cerewetnya.
“Ivon, Elza itu bukannya gak punya supir, mungkin dia gak punya mobil juga .. hahaha” cetus Misya dengan gelak tawanya yang di sambut meriah oleh seisi kelas.
“Sudah... sudah,, kita lanjutkan praktikumnya.. Elza siapkan katak untuk praktikum kamu, cepat !” perintah Bu Vicke.
Dalam hatiku, aku masih tidak terima dengan olok-olokan dari Ivon dan Misya tadi, dan mempermalukan aku di depan teman-teman sekelasku. Aku akan bikin pehitungan sama mereka setelah bel istirahat.
Siipt... bel istirahat udah berbunyi. Aku langsung menghampiri Ivon dan Misya. Tanpa basa-basi. Langsung saja ku tampar satu per satu muka mereka berdua.
Plaakk...
“Kurang ajar banget sih kamu El, gak pernah di ajari sopan santun apa sama orang tua kamu?” terocos Misya.
“hhmmb... gimana ya... kamu yang kurang ajar, kamu udah mempermalukan aku tadi di depan temen-temen sekelas. Udah puas kamu? Haaa?”
“Kami gak ada niat buat mempermalukan kamu, kami cuma berkata jujur apa adanya kok. Ya gak salah lah. Kamu aja yang sensi banget, gak ada untungnya buat kami kalo’ cuma mempermalukan kamu aja. Mengeluarkan kamu dari sekolah ini aja, sangat gampang buat kami.”
“Owh ya... aku takut banget nih.. hiiiii... takuuut,.. tapi sayangnya ancaman kamu itu udah basi tau gak..”
“Aku gak pernah segan-segan sama omongan aku sendiri. Kamu kira aku gak tau latar belakang keluarga kamu. Latar belakang keluarga yang sangat suram. yang kamu bilang kalo’ Ayah kamu pengusaha di luat kota, Bunda kamu diplomat di luar negeri. Tapi mana buktinya, malah yang aku tau, Ayah kamu itu hanya seorang pemulung botol bekas dan Bunda kamu itu udah lama meninggal, sejak kamu lahir. Iya kaaan?”
“Haaaa...?” aku hanya bengong mendengar kata-kata Ivon yang semuanya adalah benar adanya.
“Elzaaa... heeiii,, gak usah bengong kalee!!... aku sama Ivon udah tau semmuua tentang kamu. Jadi, gak usah macem-macem sama kami, okey ?... kasihan tuh Ayah kamu, ngurusin kamu dengan susah payah, eehh ternyata kamunya kalo’ di sekolah cuma cari gara-gara terus, nggak sekolah bener-bener.” Tutur Misya.
“Aku capek ngurusin omongan kalian.. kurang kerjaan aja aku ngurusin kalian.” Aku meninggalkan mereka, namun dengan ekspresi yang kurang jelas di wajah aku, antara malu dan kesal. Dan semua ini salah siapa?
***
Terdengar suara botol-botol bekas Ayah yang menandakan Ayah sudah pulang malam ini. Dengan batuk khas nya, Ayah masuk rumah dengan pelan-pelan.
“Assalamu’alaikum.. “ ucap Ayah lirih, dan nyaris tak terdengar.
“Wa’alaikum salam... Yah, Elza mau ngomong sama Ayah.” Jawabku dengan kesal.
“Iya Nak, ngomong apa?, ada edaran dari sekolah?”
“Enggak.”
“Terus apa?, mau beli kosmetik baru?”
“Enggak Yah, Elza capek hidup kayak gini terus, Elza gak pernah punya temen selama hidup Elza kayak gini terus Yah. Kapan sih kita bisa kaya lagi kayak teman-teman Elza itu. Elza malu punya Ayah pemulung kayak Ayah sekarang. Kenapa sih Ayah harus kena PHK?, kenapa juga Elza gak punya Bunda. Aku merasa hanya sebatang kara yang terbuang di tengah lautan kehidupa yang sangat kejam Yah. Elza udah bosen sama hidup Elza sekarang.”
“Nak, semua ini salah Ayah... jangan salahkan takdir Nak. Dosa!!.. dan kepergian Bunda, mungkin itu jalan terbaik untuk keluarga kita. Jangan pernah bosan sama Ayah Nak, Ayah janji akan memberikan apapun yang kamu butuhkan, karena hanya kamu satu-satunya harta Ayah yang paling berharga yang Ayah miliki. Ayah sangat sayang sama kamu Elza.”
“Elza udah putuskan Yah, Elza mau pergi aja dari sini. Elza udah sangat malu sama temen-temen Elza di sekolah dan juga malu sama tetangga-tetangga. Elza udah pikirin matang-matang, aku mau pergi jauh dari Ayah, dan aku gak pengen kenal sama Ayah lagi. Jangan pernah cari Elza Yah, kalo’ emang Ayah sayang sama Elza. Dan cukup sudah Ayah buat Elza malu dan menderita kayak gini. Jangan pernah peduliin Elza lagi.” Aku meninggalkan Ayah yang sedang meneteskan air mata dan pergi ke kamar membereskan barang-barang aku.
***
“Elza, jangan pergi Nak, Ayah gak pengen kehilangan kamu Nak. Biarkan Ayah yang pergi.” Tangis Ayah pecah saat aku keluar meniti jalan di depan rumah.
“Enggak perlu, suatu saat Elza juga akan kembali lagi. Kalo’ Elza inget sama Ayah dan Ayah juga masih ada di dunia ini.” Aku pergi tanpa banyak bicara lagi, meninggalkan Ayah yang masih terdiam lemas di samping pagar kayu yang hampir lapuk termakan usia. Sebenarnya aku masih sayang sama Ayah, tapi Ayah udah kejam banget sama aku, dengan menjadikan hidup aku menjadi seperti ini. Dan menurutku, ini adalah jalan terbaik, pisah sama Ayah secepatnya, sebelum hidupku hancur kayak Ayah sekarang ini.
***
“Kamu udah sadar saudari Elza ?” tanya seorang suster kepadaku.
“Aku dimana?” tanyaku heran.
“2 hari yang lalu mbak kecelakaan di depan bank BRI sana, mbak tertabrak mobil traveling saat mbak lari tak tentu arah. mbak kritis selama 2 hari karena luka di dalam bola mata mbak yang sebelah kiri akibat terkena banyak pecahan kaca. Dan mungkin jika Ayah mbak tidak memberikan matanya kepada mbak, mbak nggak akan bisa melihat lagi sekarang. Ayah mbak memang sangat baiiiik sekali, mbak beruntung punya Ayah seperti beliau.” Jelas suster tersebut padaku.
“Suster, bukannya hanya orang yang sudah meninggal saja yang bisa mendonorkan alat inderanya?” tanyaku lemah.
“Iya mbak, Ayah mbak sudah meninggal 2 hari yang lalu. Saya dengar, beliau meninggal dengan menabrakkan diri di tengan jalanan yang padat pengguna jalan. Beliau rela meninggal hanya untuk mendonorkan matanya untuk mbak. Dan beliau menitipkan surat untuk mbak. Ini...” suster memberikan surat itu padaku, aku merasa tak kuat menerima selembar kertas tersebut. Walaupun tak kuat, aku harus bisa membacanya.

    “Suster, apa benar ini Sus?, dimana Ayah sekarang?” tanyaku sambil menangis tak tertahan lagi.
“Iya mbak, Ayah mbak sudah tiada. Beliau juga berpesan pada pihak medis, agar merawat mbak hingga sembuh. Karena Ayah mbak telah melunasi semua administrasi di Rumah Sakit ini dengan menjual semua organ di tubuh beliau ke Rumah Sakit. Baru kali ini saya melihat kasih sayang seorang Ayah yang sangat tulus pada putrinya.”
“Apaa?, menjual semua organ tubuhnya?”
“Iya mbak... sudah mbak, jangan banyak fikiran dulu, yang penting mbak sembuh dulu, supaya mbak bisa melihat makam Ayah mbak di TPU belakang Rumah Sakit ini.” Suster membiarkan aku sendirian di kamar tempat aku di rawat.
Aku gak percaya, Ayah pergi meninggalkan aku dengan cara seperti ini. Betapa berdosanya aku telah menyia-nyiakan Ayah selama ini. Ayah gak pernah sedikitpun marah sama aku apalagi membiarkan aku sengsara sendiri. Ayah selalu memberikan semua yang dia miliki padaku. Tapi apa balasanku pada Ayah, aku selalu bentak-bentak Ayah, aku selalu bicara kasar pada Ayah, dan aku selalu menyalahkan Ayah tentang apapun yang terjadi pada hidupku. Semua salahku. Namun kini aku gak bisa berbuat apapun, Ayah sudah terlanjur pergi, dan itu semua gara-gara aku yang pernah bilang kalo’ aku gak pengen lagi kenal Ayah. Maafin Elza Yah, Elza sayang sama Ayah, sampai jumpai suatu saat di rumah Allah Yah. Elza bangga punya Ayah, walaupun sesaat. L L
By : UER

0 komentar:

© Schreiben | Powered by Blogger