Terlihat jelas mata Reva yang sembab dan basah, walaupun
terhalang oleh kacamatanya yang tebalnya hampir sama dengan papan tulis kelas,
karena saking tebalnya.
Dari sudut swalayan yang paling ujung, Dika melihat
dengan jelas sosok sahabat karibnya yang satu ini, dengan penampilan yang tidak
terlalu memikirkan style dan rambut ikalnya yang terurai melampaui bahu, tak
terkecuali kacamata yang slalu nangkring di atas hidung mancungnya.
“Rev, ..” sapa Dika dari kejauhan
dengan melambaikan tangannya.
“Dika, “ sahutnya lirih.
Akhirnya Dika lebih mendekat ke
Reva. “Rev, kamu kok beda sih hari ini, sekarang kan weekend shob, besok juga
masih hari minggu, galau mikirin tugas sekolah ya ?”
“Enggak Dik, aku cuma lagi ada big problem di keluarga”
“what happen?, cerita dong sama aku, apa gunanya seorang
sahabat kalo’ kayak gini aku gak bisa bantu kamu..”
“sekarang bukan saat yang tepat buat aku cerita semuanya
Dik, aku lagi cari alat-alat lukis, jadi sekarang aku lagi gak bisa gabung sama
kamu, kamu sama Levi dan Kayla aja ya, maaf banget, mereka ada di lantai
atas..” (pergi menjauh dari Dika)
“Rev, tunggu dong.. masalah apa sih, aku akan bantu kamu
Rev”
“makasih Dik, aku hargai bantuan kamu, besok senin aja di
sekolah aku akan cerita ke kamu apa masalahnya.”
“aku tunggu deh Rev, yang penting kamu baik-baik ya,
apapun masalahnya, tetap sabar dan semangat ya !!”
“iya Dik, aku duluan” ucapnya lebih lirih dari yang
pertama.
Terpaksa Dika membiarkan Reva pergi untuk sendiri, dan
dia masih sangat bingung dengan tingkah sahabatnya itu yang hari ini berubah
1800. Yang dia tahu, kaluarganya memang sudah pecah dari waktu Reva
masih kelas 6 SD, sedangkan sekarang dia sudah kelas 10 SMA, dan semua itu
malah membuat Reva menjadi anak yang mandiri dengan 1000 mimpinya yang telah ia
rangkai rapi di benaknya.
4 tahun yang lalu, orang tuanya bercerai karena ayahnya
selingkuh dengan wanita lain, dan ibunya pun sekarang bekerja di luar kota.
Lalu, Reva hanya tinggal berdua dengan adik semata wayangnya yang kini duduk di
bangku kelas 4 SD.
***
“Kak, bunda sama ayah gak pengen pulang kesini lagi dan
tinggal disini lagi ya kak, padahal kan udah 4 tahun mereka gak pernah pulang
kak” suara lembut Zarah terdengar dari balik kanvas besar yang bergambarkan
satu keluarga utuh dengan banyak gambar bintang di bagian atas gambar tersebut.
Reva mendekati Zarah adiknya, dan duduk di bawah kursi
roda Zarah. “Bunda sama ayah akan pulang Za, jangan khawatir, mereka juga
sangat kangen sama kamu, adik kakak yang paliiiing cantik.” Reva berusaha
menenangkan.
“Kapan kak, setelah Zarah pergi dan tinggal mumu aja yang tersisa.” (menunjuk boneka
sapi berwarna coklat kado terakhir pemberian Reva) “Kata tante dokter kan aku
sakit parah di sini, di kaki Zarah kak. Tante dokter aja gak bisa nyembuhin, jadi
kan Zarah akan pergi sama Allah, karena cuma Allah yang bisa sembuhin Zarah”
Reva tidak bisa menahan air matanya lagi, yang akhirnya
membasahi kedua pipinya. Dia tak sanggup lagi berkata apapun pada Zarah adiknya
yang sudah dari lahir menderita polio, dan kini Zarah sudah tak mampu
menggerakkan kakinya karena penyakitnya yang sudah sangat parah. Lebih parahnya
lagi, Zarah telah divonis tidak akan bertahan lebih lama lagi. Akibatnya, Reva
yang kini harus tekun sekolah demi mencapai 1000 mimpinya itu harus merelakan
hari-harinya yang seharusnya ia gunakan untuk sekolah, kursus, bimbingan,
ekskul, dll, dikorbankan untuk menemani Zarah jalan-jalan, melukis, kemo
terapy, dll.
Kedua orang tuanya selalu saja menganggap semua berita
tentang Zarah yang di sampaikan oleh Reva itu adalah lebay dan mengada-ada.
Padahal dalam kenyataannya, mereka berdua bagaikan sebatang kara yang tak
memiliki apapun untuk mempertahankan semangat mereka. Tak ada orang tua, tak
ada saudara.. hanya sahabat yang selama ini mereka miliki disini.
***beberapa
minggu kemudian***
“Halo Rev, ada apa’an shob ??” tanya Dika di kejauhan
sana.
“Dik,, Dikaa...” terdengar suara Reva yang tersendat
dengan suara tangisan.
“Reva,, apa yang terjadi,, ada apa?,, tenang dulu Rev..
kok kamu nangis ?”
“Zarah, adik ku.. tadi dia jatuh dari kursi roda dan
sekarang dia lagi di ICU”
“ICU ??,, oke, tenang dulu Rev, jangan panik, aku, Levi
dan Kayla kesitu sekarang”
“Cepet Dik, aku takut banget”
“Iya Rev, see you...!!”
“see you,,”
Sementara itu, Reva hanya mondar-mandir di depan ruang
ICU menunggu seorang perawat dan juga dokter keluar dengan membawa kabar baik
tentang adiknya.
“Mbak Reva...”
“Iya suster, bagaimana Zarah ?, apa dia baik-baik saja ?”
Reva sangat khawatir.
“Sepertinya ini adalah hari terakhir Zarah mbak, ada yang
ingin dia sampaikan kepada mbak, silahkan masuk saja”.
Reva masuk dengan berlinang air mata yang sangat deras
dari kelopak matanya, dia tak sanggup untuk menghadapi hari ini dan saat ini
pula.
“Zarah, ini kak Reva sayang, Zarah sembuh dong..” kata
Reva lirih di sebelah telinga Zarah.
“Bunda... Ayah... Kakak... Mumu.. ” bisik Zarah perlahan. “Aku sayang sama kalian, aku akan
sampaikan salam kalian pada Allah. Disana Allah bisa sembuhin aku, aku ingin
bertemu Allah dan bilang, kalo’ aku gak pengen kalian sakit kayak aku.” Ucap
Zarah dengan sangat perlahan.
“Kakak sangat sayaaang banget sama kamu Zarah, walaupun
kakak ingin slalu bersama kamu, tapi kakak juga pengen lihat kamu bahagia dan
gak merasakan sakit lagi”
“Lihat aku sebagai bintang dii .. “ suara zarah
menghilang, bersama dengan nafas terakhirnya yang berhembus dengan tenang.
“Zaraaahh... zaaarraaahh... bangun zarah,, banguuun...”
jerit histeris Reva seketika dengan tangisnya yang semakin menjadi. Namun,
ketiga sahabatnya mampu menghiburnya untuk sementara waktu hingga jasad Zarah
di makamkan.
“Jangan ditangisi lagi Rev, kasihan Zarah..” ucap Kayla.
“Iya Rev.. sabar yaa? Zarah belum sepenuhnya ninggalin
kita, Zarah masih ada disini, di hati kita semua, dan disana di langit sebagai
bintang yang tetap berkerlip dengan anggun.” Levi berusaha menguatkan.
“Bintang,, di .. Langit ?!” ucap Revi dengan nada
bingung.
“Iya Rev,.. disana?” Dika menunjuk ke langit.
“Aku menangis bukan karena menyesal dan nggak rela Zarah
pergi, aku nangis karena sedih meratapi kehidupanku yang semakin hari semakin
tak bertujuan dan tak berarah”
“Tadi aku udah kabarin kedua orang tua kamu, mereka akan
pulang secepatnya dalam minggu ini, dan Bunda kamu juga akan menetap disini
untuk temani kamu Rev.. jangan sedih lagi ya!” kabar dari Kayla.
“Bunda?,, menetap disini sama aku ?”
“Iya Rev, kamu seneng kan ?”
“Antara seneng dan kecewa Kay, Bunda sangat terlambat
buat lakuin itu semua. Zarah udah terlanjur pergi dan setelah Zarah pergi Bunda
baru percaya dan menyesali semuanya. Itu sungguh mengecewakan”
“Yang lalu biarlah berlalu, dan ambil semua hikmah dari
semua ini Rev, jangan pernah kamu membenci Bunda kamu, seberapapun bersalahnya
Bunda kamu itu.”
“makasih Kay, Lev, Dik... kalian adalah motivator ku.”
Mereka berempat berpelukan dengan sangat erat sebagai
layaknya empat bersaudara yang berlinang air mata bahagia.
***
Malam itu, Revi duduk di dekat jendela dan melihat sebuah
bintang di langit yang sedang berkerlip dengan sangat terang. Di tangannya
terdapat kertas gambar yang bergambarkan 1 keluarga utuh yang dulu pernah di
lukis oleh Zarah, adiknya.
Di sampingnya juga terdapat sebuah surat yang ditulis di
kertas berwarna merah muda dan dengan tulisan memakai tinta biru. Dengan semua
barang dan suasana seperti ini, Reva sangat merasakan, dia sedang bersama
Zarah.
***
Created By : UER
0 komentar:
Posting Komentar